Rabu, 07 Desember 2011

islam suku bakumpai

oleh fawaz


Tulisan ini saya ingin membahas tentang Bakumpai, sebagai Dayak dan juga tidak dipisahkan sebagai pemeluk ajaran Islam (muslim). Pembahasan awal saya ingin menelaah silisilah ke-Dayak-an Bakumpai kemudian dilanjutkan tentang identitas Bakumpai sebagai Muslim.

Pandangan orang lain terhadap suku-bangsa tertentu, nampaknya masih berhubungan dengan suatu agama yang seakan menjadi agama resmi suku-bangsa bersangkutan. Ketika saya belum terlalu mengenal jauh misalnya tentang Jawa, Batak, Papua, Bali, saya menduga suku-suku bangsa ini telah menganut suatu agama tertentu sebagai agama resmi. Bagi saya orang Jawa mesti beragama Islam, orang Batak beragama Kristen, suku-suku bangsa di Papua juga Kristen dan orang Bali menganut agama Hindu atau Budha. Pandangan saya ini keliru, tidak semua orang dengan latar belakang suku-bangsa tersebut beragama seperti yang saya fikirkan.

Kasus di atas rupanya terjadi juga terhadap pandangan orang lain tentang Dayak, ketika saya mengatakan sebagai orang Dayak, kebanyakan orang mungkin akan memikirkan saya beragama Kristen. Maka dalam sub judul ini, terlebih dahulu saya menyampaikan pandangan-pandangan tentang suku Bakumpai sebagai Dayak dan juga memeluk Islam.

Merujuk berbagai literatur dan cerita lisan orang Bakumpai sendiri, jelaslah Bakumpai termasuk suku Dayak. Mengetahui Bakumpai sebagai Dayak bisa dilihat menurut Tjilik Riwut (1993:234-235) suku Dayak terbagi dalam tujuh pembagian besar, yakni Dayak Ngaju, Dayak Apu Kayan, Dayak Iban dan Heban atau Dayak Laut, Dayak Klemantan atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan dan Dayak Ot Danum. Di antara tujuh besar tersebut yakni Dayak Ngaju, terbagi lagi dalam 4 suku besar, yakni Ngaju, Ma’anyan, Lawangan dan Dusun. Masing-masing 4 besar Dayak Ngaju tersebut terbagi, adapun Bakumpai termasuk bagian dari Dayak Ngaju.

Bakumpai juga dimasukkan dalam bagian Dayak Ot Danum yang terdiri 68 suku kecil, bersama Bakumpai di antaranya ada Ngaju, Kapuas, Kahayan, Katingan, Sampit, Seruyan (Riwut, 1993:267). Kemungkinan besar menjadi alasannya Tjilik Riwut, memasukkan Bakumpai sebagai Dayak Ngaju dan Ot Danum karena melihat kesamaan arti keduanya. Ot Artinya Hulu; danum artinya air. Jadi Ot Daum artinya Hulu Air atau Hulu Sungai dengan sendirinya mereka tinggal di udik. Bi-aju artinya; Bi = dari; aju = udik jadi Bi-aju artinya dari Udik. Ngaju = Udik (Riwut, 1993:262). Mungkin Tjilik Riwut, secara tidak langsung ingin menampakkan teritorial Dayak Ot Danum berada di daerah sungai.

Pendapat lain tentang Bakumpai, menurut Maulani yang mengutip pendapat Charles Hose antropolog dari Inggris mengemukakan istilah Dayak merupakan nomenklatur kultural untuk sebuah etnik yang tinggal di pulau Kalimantan, meliputi sekitar 200 suku kemudian terbagi ke dalam 6 kelompok besar (Punan, Murut, Kahayan, Iban, Kenyah dan Klemantan) berdasarkan asal-usul, masa kedatangan ke Kalimantan dan ciri-ciri budaya mereka.

Versi Maulani berdasarkan Charlos Hose tersebut (2000:141) meletakkan Bakumpai sebagai salah satu sub etnik dari ras Kahayan, diduga berasal dari suatu desa yang menyandang nama Bakumpai di hulu sungai Barito. Mereka menyebar ke selatan mendiami sepanjang sungai Barito, berbelok ke sungai Kahayan dan sungai Mentaya Sampit sampai ke Tumbang Samba (Kasongan), Kalimantan Tengah. Dalam persebaran itu etnik Bakumpai bertemu dengan suku Melayu dan mulai memeluk Islam pada awal tahun 1688 melalui penyebaran Islam dari Kesultanan Demak. Dari hulu sungai Barito orang-orang Bakumpai menyebar ke hulu sungai Mahakam di Long Putih mengalir ke Selatan sampai ke Long Iram.

Antara Tjilik Riwut dan Maulani terdapat perbedaan dalam menguraikan silsilah Dayak Bakumpai, namun kedunya memiliki kesamaan bahwa Dayak Bakumpai tinggal di tepi sungai, dalam hal ini adalah sungai Barito. Kemudian diperkuat oleh Setia Budhi dalam tulisannya “Melacak Jejak Suku Bakumpai”, bahwa “Sebagian besar peneliti bersepakat bahwa Suku Bakumpai adalah bagian dari rumpun Dayak Ngaju. Hans Scharer 1963 menyebut komunitas ini hidup dan berada di bagian up river dan down river Barito. Sebagian peneliti lain menyebutkan juga bahwa Suku Bakumpai merupakan cabang dari etnik dusun yang tinggal dibagian pusat Kalimantan yang rapat hubungannya dengan Siang, Deyah, Witu di sebelah Utara dan Kahayan di sebelah Barat”. (Kompas, 9 Juli 2005)

Demikian juga, berdasarkan cerita rakyat mengenai asal usul orang Bakumpai rakyat pun menunjukkan hal yang sama.

Dahulu kala, sungai Barito dari Muara Pulau sampai ke sebelah hilir Ujung Panti itu tidak ada. Waktu itu sungai Barito yang ada hanya Muara Pulau terus ke hulu sana. Dari Muara Pulau itu kalau orang hendak ke Banjar atau orang Banjar hendak ke Barito terpaksa belok ke sungai Kahayan, yang hanya satu-satunya lalu lintas air Banjar – Barito.

Pada waktu itu hulu sungai Barito sana ada sebuah kampung yang bernama Air Manitis, yang didiami oleh suku bangsa Dusun Biaju. Suku itu diperintah oleh seorang kepala suku yang mempunyai dua orang anak kembar kemanikan (laki-laki dan perempuan). Anak yang tua laki-lkai namanya Patih Bahandang Balau. Ia diberi nama demikian, karena rambutnya (balau) merah (bahandang) seperti rambut orang Belanda, sedangkan nama Patih itu bukan nama jabatan akan tetapi memang namanya. Anaknya yang kecil perempuan yang diberi bana Datu Sadurung Malan. Ia dinamakan demikian karena kelihatannya ia seperti memakai kerudung (tutup kepala) yang biasanya dipakai oleh perempuan yang sedang bertani (malan), sedangkan nama Datu bukan datu yang berarti orang trua dari nenek, tetapi memang namanya demikian.

Datu Sadurung Malan sangat cantik parasnya, sehingga banyak pemuda yang ingin memperistrinya. Demikian sangat cantiknya sehingga kakaknya jatuh cinta. Pernah sekali ia bersama berada di sawah, pada waktu itu kakaknya mengatakan bahwa ia ingin memperistrinya. Tentu saja Datu Sadurung Malan tidak akan mau kawin dengan kakaknya sendiri. Setelah kejadian itu Datu Sadurung Malan tidak lagi pergi ke sawah bersama kakaknya, kecuali kalau ada ayahnya, baru ia berani.

Hari berjalan terus, Patih Bahandang Balau makin bertambah keinginannya untuk memperistri adiknya. Orang tua mereka tidak mengetahui persoalan mereka berdua. Tidak kuat menahan hatinya lagi, maka Pathi Bahandang Balau mengancam hendak membunuh adaiknya kalau ia tidak mau kawin dengan dia. Mendengar ancaman kakaknya itu Datu Sadurung Malan berfikir hendak pergi jauh. Waktu tengah malam ketika kakak dan ayahnya sedang tidur, ia pergi ke luar rumah dan terus turun ke sungai masuk ke dalam perahunya. Sesudah tali ampannya lepas, dikasyuhnya sampannya perlahan, Rasa lega hatinya ketika dilihatnya rumahnya tak ada lagi. Dengan hati yang lega dipercepatnya kayuhannya, maksud hendak ke Banjar dan terus ke Jawa.

Sampai di Muara Pulau, ia tidak mau belok ke sungai Kahayan, karena ia takut kalau dikejar-kejar kakaknya. Dibuatnyalah jalanan sendiri. Ditariknya sampannya sehingga terbentuk sungai kecil. Pada mulanya memang belum ada airnya, tetapi lama kelamaan berair juga karena hujan, hingga akhirnya terbentuk sungai yang banyak dilalui orang. Demikianlah sungai itu bertambah lama bertambah besar dan sampai sekarang dinamai orang sungai Barito.

Datu Sadurung Malan setelah sampai ke Banjar terus menumpang kpal yang menuju ke pulau Jawa, sedangkan kakaknya Patih Bahandang Balau, sesudah mengetahui adiknya tidak lagi di rumah mulai menginsafi dirinya. Untuk menghibur hatinya yang sakit ia beristri dengan seorang perempuan di kampungnya, sampai beranak cucu. Anak cucunya sampai saat ini masih ada yang sekarang menjadi orang Barito atau orang Dusun Biaju.

Datu Sadurung Malan setelah mendengar kakaknya sudah kawin, ia kembali ke Kalimantan. Sebelumnya ia sudah bersuami dan beranak cucu. Anak cucunya hendak dibawanya ke Air Manitis kembali. Ia heran melihat bekas jalannya dahulu ramai menjadi lalu lintas orang. Ia hendak mendirikan rumah di situ, Di suruhnya menaruh ayam jantan ke arah matahati terbit, tetapi ayam itu tidak mau berkokok. Sesudah ditaruh ke arah seberangnya, ayam itu mau berkokok, tandanya tanah disitu baik. Dibuatnyalah rumah di sana, sampai akhirnya banyak orang tinggal di situ. Sampai sekarang kampungitu masih ada yang diinamai orang Kampung Bakumpai atau Kota Marabahan sekarang.

Seperti itulah asal usul terjadinya sungai Barito, kampung Bakumpai dan kampung orang Dusun. (Ibrahim, dkk, 1979:98-99)

Kisah tentang Patih Bahandang Balau ini nampaknya menceritakan beberapa hal, yakni; tentang asal usul orang Bakumpai, larangan insest dalam suku bangsa Dayak yakni larinya Datu Sadurung yang tidak mau diperistri kakaknya, kemudian asal mula kejadian sungai Barito, tempat asal orang Bakumpai, yakni Kampung Bakumpai di Kota Marabahan sebagai ibukota kabupaten Barito Kuala dan persaudaraan antara Dayak Bakupai dan Dayak Dusun Biaju.

Kalau ditanyakan kepada orang Bakumpai, asal-usul nenek moyang mereka dan tempat asalnya, mereka pada umumnya mengatakan berasal dari Marabahan, tepatnya dari salah satu kampung di kota Marabahan sekarang ini, yang dulu disebut lebu Bakumpai ‘kampung Bakumpai’. Ada yang mengatakan bahwa kampung itu ialah kampung Bagus sekarang ini. Nama Bakumpai ini diabadikan yang meliputi kota Marabahan dan sekitarnya. (Ibrahim, dkk, 1979:2) Meskipun demikian, nampaknya masih ada yang meragukan pendapat bahwa asal-usul orang Bakumpai dari Marabahan bahwa terdapat kecendrungan bahwa bahasa dan budaya Bakumpai di daerah tersebut mengalami perubahan yang significant akibat pengaruh kontak budaya dan bahasa yang terjadi di wilayah tersebut, namun sebaliknya wilayah Buntok yang jauh dari pusat kebudayaan cenderung terjaga keasliannya jika dibandingkan dengan Marabahan. Dengan demikian, maka daerah Buntok dapat diasumsikan sebagai daerah yang lebih tua daripada Marabahan. (Qalyubi, Kalteng Post 20 Nopember 2006)

Pendapat ini mentah, karena ia melupakan bahwa secara strategis memang Marabahan berada pada pertemuan berbagai kebudayaan pada masa kerajaan Banjar, sehingga wajar terjadi kontak kebudayaan, apalagi anggapan ini berdasarkan pada penelitian sepintas saja.

Di Marabahan orang mengenal kampung ngawa, misalnya kampung Bagus dan Ngaju Kantor bahasa Bakumpai bertahan dengan dialek khasnya. Di Buntok justru pengguna bahasa Bakumpai, lebih banyak berinteraksi dengan orang dari Hulu Sungai dengan dialek bahasa Banjar Pahuluan, sehingga sering terjadi percampuran bahasa Banjar Pahuluan dengan Bakumpai. Hal tersebut diketahui dari dialek orang Banjar Pahuluan, memakai dialek Bakumpai.

Fakta lain diabaikan Qalyubi adalah silsilah orang Bakumpai, jika berada di Buntok dan kita menanyakan dari mana nenek moyang mereka, jawabannya tentu dari Marabahan. Hal ini diperkuat dengan adanya Silsilah Suku Dayak Bakumpai, Dayak Siang, Dayak Murung, sebagai narasi lain dari nenek moyang Bakumpai selain Datu Sadurung Malan adalah Patih Darta Suta mempunyai lima orang anak bernama; Ngabe Tuha, Ngabe Tumpang, Ngabe Basirun, Ngabe Basunga dan Jimah (perempuan) (H. Mursani, 2002: naskah ketik).

Pendapat H. Mursani tersebut semakin menguatkan adanya wilayah didiaminya berada di sungai Barito dan menjadi tempat persebaran suku Bakumpai. Induk Bakumpai adalah di kota Marabahan, namun “mereka tidak saja tinggal di Marabahan, tetapi tersebar dengan keluarga mereka, atau berkumpul di desa-desa kecil sepanjang Barito dan cabang-cabang utamanya seperti pulau Petak, Sungai Patai, Sungai Dayu (atau Ayu), sungai Karau, Sungai Muntalat, dan Sungai Teweh, dan bahkan jauh dui hulu lagi sampai daerah-daerah Siang-Murung. Keberadaan koloni Bakumpai di daerah pedalaman disebabkan terutama oleh perdagangan” (Schawaner, dalam Syamsuddin, 2001:46)

Berbagai pendapat tersebut dan saling menguatkan, jelas sulit bagi kita untuk memberikan bantahan bahwa Bakumpai adalah Dayak, tinggal di Daerah Aliran Sungai Barito, sebagiannya menyebar ke tempat lain yakni Tumbang Samba (Kalteng) dan Long Iram (Kaltim). Namun berbicara tentang Bakumpai, masih menyisakan permasalahan bahwa Bakumpai yang memeluk Islam tidak lagi menyebut dirinya Dayak, mereka lebih cenderung sebagai Melayu atau Banjar. Seperti halnya dengan orang Meratus, mereka tidak lagi sebagai Meratus ketika sudah memeluk Islam. Mengutip pendapat Anna L. Tsing.

Orang Banjar itu Muslim: Orang Meratus tidak. Persoalan ini dilestarikan dalam definisi karena fakta bahwa seorang Dayak Meratus pindah ke agama Islam dianggap menjadi Banjar, setidak-tidaknya untuk banyak tujuan. Hanya sedikit orang Meratus yang Kristen. Agama apa yang lain? Orang Meratus mempraktekkan perdukunan, melaksanakan upacara padi, dan memiliki konsep kosmologi yang rumit. Akan tetapi, dalam konteks asimetris regional, jawaban paling langsung adalah “bukan” Islam (1998:72),

Nampaknya ada problem untuk menempatkan diri sebagai Dayak sekaligus muslim, menurut Riwut sudah jadi kebiasaan sejak zaman penjajahan orang-orang Dayak yang beragama Islam dengan resmi menyatakan diri sebagai orang Melayu, yang kemudian asal sukunya tidak pernah disebut-sebut lagi, meskipun dalam batin mereka tetap mengakui bahwa mereka adalah suku Dayak (1993:266). Orang Dayak yang memeluk Islam lebih mengindentifikasikan diri sebagai Banjar bukan sebagai ‘Muslim Dayaks’, Dayak Islam (lihat Chalmers, 2006). Bagi orang Bakumpai nampaknya berusaha untuk meletakkan keduanya (Dayak dan Muslim) sekaligus, sebagaimana sepasang sayap burung akan terbang bila keduanya dikepakkan. Setidaknya itulah perasaan saya ketika di S2 Antropologi UGM, mungkin tidak ada yang menangkap kegelisahan dalam pergulatan pikiran saya ketika dalam perkenalan awal masuk kuliah. Saya ingin memperkenalkan diri dari Banjar, namun kalau seperti itu rasanya saya mendustai diri sendiri, saya orang Bakumpai bukan Banjar. Apalagi ada dua orang teman satu kelas adalah orang Banjar, kalau saya menjelaskan sebagai orang Bakumpai dan Dayak, jangan-jangan mereka menganggap saya bukan Islam.

Padahal, sebagaimana pendapat Setia Budhi Keislaman suku Bakumpai, sebenarnya tidak serta merta mencerabutkan mereka dari asal mu-asal darah kejuriatannya. Keislaman Bakumpai, hanyalah persoalan adanya rasionalitas sesuatu puak terhadapapa yang dipandang sebagai logis dan rasional yang mengalahkan rasionalitas dan logisitas atas sesuatu yang telah ada sebelumnya. Ini sama saja dengan sebuah pertanyaan terhadap suku-suku Dayak yang lainnya yang tidak memilih Islam. Tetapi bersamaan keluar dari kepercayaan sebelumnya.

Jadi Islamnya orang Bakumpai tidak hendak meninggal pihak lain, meskipun harus diakui Bakumpai nyaris kehilangan tradisi leluhurnya kecuali upacara pengobatan bernama Badewa dan bahasa Bakumpai sendiri. Islamnya orang Bakumpai sebenarnya lebih bermanfaat bila kita memahaminya perekat sesama umat Islam dari suku apapun khususnya kalangan suku-bangsa Dayak, dan Bakumpai tetap sebagai Dayak yang tidak bisa dicerabut dari akar nenek moyangnya, juga menunjukkan persaudaran sesama namun berbeda agama.

Sementara di lokasi penelitian saya, sering mendengar muncul pengakuan, “ini datu itah te sama beh awen biaju kia” (Nenek moyang kita sama saja dari Biaju (Dayak) juga). Sedangkan di hulu Barito, seperti Buntok atau Muara Teweh saya mendapatkan informasi adanya pengakuan seperti hal demikian juga, dengan adanya pohon di sebut puhun sadatu. Yakni tumbuhnya pohon dan tidak diketahui siapa penanamnya, misalnya pohon durian atau cempedak, semua orang (dayak muslim maupun non muslim) bisa mengambil buahnya karena pohon itu ditanam oleh nenek moyang mereka yang sama, sadatu (satu datu/nenek moyang) tersebut.

(Tulisan ini salah satu sub judul dari tesis yang sedang saya garap)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar